Danial Indrakusuma

Kisah Ali Syariati dan Temuan Piramida

Danial Indrakusuma
Sumber :
  • facebook

VIVAnews - Dr. Ali Shariati, doktor lukusan Universitas Sorbonne, Prancis, juga aktivis politik yang banyak disayang mahasiswa/i nya, berkali-kali dipenjara dan, kemudian, dibunuh SAVAK, badan intelejen pemerintah Iran masa Syah Reza Pahlevi.

Kesimpulan Muslim yang prihatin atas nasib Kaum yang Tertindas

(Dr. Ali Shariati mengisahkan kunjungannya ke salah satu piramida)

Dengan sepenuh hati, aku mulai mendengarkan penjelasan dari pemandu wisata tentang struktur piramida. Aku berkesimpulan bahwa budak-budak lah yang membawa delapan ratus juta balok batu dari Aswan ke Kairo yang akan digunakan untuk membangun enam piramida raksasa dan tiga piramida kecil.

Prabowo Hadiri Open House di Rumah Dinas Airlangga

Delapan ratus juta balok batu yang dibawa ke Kairo dari tempat yang jauhnya delapan puluh mil untuk mendirikan bangunan tempat menyimpan jasad-jasad Firaun yang harus dilestarikan. Di dalamnya, kuburan tempat dibaringkannya jasad-jasad tersebut dibuat dari lima balok marmer. Empat baloknya digunakan sebagai dinding, dan yang satunya digunakan untuk atapnya.

Membayangkan bagaimana diameter beban balok-balok marmer tersebut, yang digunakan sebagai atap kuburan tersebut, bisa tergambar bagaimana balok-balok tersebut, jutaan balok batu, harus diangkat ke atas hingga saling tumpang-tindih hingga ke puncak piramid sebagai penyangga kuburan tersebut.

Hari Lebaran Kedua, Pengunjung Ragunan Tembus 65 Ribu Lebih

Selama lima ribu tahun, atap kuburan tersebut tetap kukuh menyangga beban balok-balok batu tersebut.  Aku begitu terkesan oleh pekerjaan yang mengagumkan tersebut. Bila menengok ke jangka waktu tiga hingga empat ratus tahun, aku penasaran pada balok-balok batu yang berserakan. "Batu-batu apa itu?" Aku bertanya pada pemandu wisata.

Menurutnya, "Bukan apa-apa. Hanya beberapa balok batu." Sekitar tigapuluh ribu budak dipekerjakan untuk membawa balok-balok batu yang begitu berat tersebut dari jarak ratusan mil, setiap harinya ratusan budak-budak itu mati tertimbun batu. Ratusan budak yang mati itu membuatku penasaran bertanya di mana mereka dikuburkan.

Seluruh Korban Kecelakaan Maut Bus Rosalia Indah di Dipastikan Dapat Santunan

Begitu tak pentingnya mereka dalam sistim perbudakan, sehingga ratusan budak yang mati itu dikuburkan dalam satu lubang. Mereka yang bertahan hidup harus tetap mengangkuti beban-beban berat tersebut. Aku katakan pada pemandu wisata bahwa aku ingin melihat kuburan budak-budak yang remuk jadi debu itu. Si pemandu wisata, setengah berseru, mengatakan, "Tak ada yang bisa dilihat!"

Dia menunjuk ke arah kuburan budak-budak--yang dikubur di dekat piramida atas perintah Firaun; maksudnya agar roh budak-budak itu bisa tetap bekerja layaknya raga-raga mereka.

Aku memohon agar pemandu wisata meninggalkanku sendirian. Aku kemudian melangkah ke kuburan budak-budak itu, bersila dan aku merasa sangat dekat dengan orang-orang yang dikuburkan di lubang itu. Aku merasa saudara satu ras. Walaupun, memang, mereka datang dari wilayah yang berbeda, namun perbedaan-perbedaan tersebut tak berpengaruh saat kita mampu melihat landasan yang menyebabkan manusia terpecah-pecah.

Karena itu, bagiku, konsep orang asing dan saudara itu menjadi gejala yang aneh. Aku tak terlibat dalam sistim perbudakan tersebut, yang membagi-bagi manusia ke dalam klasifikasi ras dan kelas; karenanya, aku samasekali tak punya bertanggung jawab atasnya, selain  mendapatkan perasaan yang hangat, dan simpati pada jiwa-jiwa yang ditindas ini.

Aku membalikkan pandangan ke piramida, dan sadar bahwa, di samping kemegahan piramida-piramida itu, kini piramida-piramida itu begitu asing bagiku dan menjadi berjarak denganku. Dengan kata lain, aku merasa sangat benci pada monumen-monumen peradaban di sepanjang sejarah yang didirikan di atas tulang belulang nenek moyangku.

Nenek moyangku juga membangun tembok akbar Cina. Mereka yang tak sanggup mengangkat beban, lumat ditimbun batu dan dikuburkan di dinding tembok ditutup batu-batu. Begitulah monumen-monumen akbar peradaban dibangun --dengan mengorbankan daging dan darah nenek moyangku!

Sepemahamanku, inilah niat Andi Arief takzim menguak rahasia kepurbakalaan.

Dr. Ali Syariati, doktor lulusan Sorbonnes, dosen yang disayang murid-muridnya, aktivis politik yang berkali-kali dipenjara dan, akhirnya, gugur dibunuh SAVAK, lembaga intelejen pemerintahan Shah Reza Pahlevi:

Namun, tidak lah mudah membuat bangsa dan masyarakat beradab. Peradaban dan kebudayaan bukan lah produk yang dibuat oleh orang-orang Eropa, yang pemilikannya membuat siapa pun beradab. Tapi mereka membuat kita percaya bahwa semua omong kosong modernisasi sebagai pewujudan peradaban!

Dan kita dengan bernafsu membuang segala milik kita, bahkan membuang prestise sosial kita, moralitas kita dan intelektual kita, agar menjadi orang yang begitu dahaganya menghisap apa yang diteteskan ke mulut kita oleh orang-orang Eropa dengan bernafsunya. Itulah yang mereka maknai sebagai modernitas sejati.

Jadi, keberadaan seseorang diciptakan dengan mengabaikan latar belakang apapun, diasingkan dari sejarahnya dan agamanya, dan layaknya orang asing dalam memandang rasnya, sejarahnya dan apa yang telah dibangun oleh nenek-moyangnya di dunia ini; diasingkan dari karakteristik kemanusiaannya, menjadi kepribadian yang tak orsinil, yang pola konsumsinya telah berubah, yang pikirannya telah berubah, yang telah kehilangan pemikirannya yang sangat berharga, kehilangan kegemilangan masa lalunya dan kehilangan kwalitas intelektualnya, dan sekarang menjadi seorang yang tak bermakna, kosong melompong.

Sebagaimana yang dikatakan Jean Paul Sartre: "Dalam masyarakat seperti itu, 'peniruan' akan menghasilkan para pemikir-gadungan dan para terdidik-bohongan, bukan pemikir atau intelektual sejati."

Intelektual sejati adalah seseorang yang paham masyarakatnya, peduli pada kesulitan-kesulitan masyarakatnya, mampu menyimpulkan nasib masyarakatnya, yang memiliki pengetahuan tentang masa lalu masyarakatnya dan sanggup memutuskan kehendak dirinya.

Namun, para intelektual-gadungan tersebut, cilakanya, mampu mempengaruhi rakyatnya. Dalam masyarakat non-Eropa, siapa kah para intelektual-gadungan tersebut? Mereka adalah para calo yang menghubungkan para pemilik produk dengan konsumennya. Pialang yang mempertemukan orang-orang Eropa dengan rakyatnya, yang memuluskan jalan bagi kolonisasi (kolonial) dan penghisapan.

Itulah mengapa mereka menciptakan pemikiran-pemikiran lugu, bodoh, yang segan memilih apa yang terbaik bagi dirinya, yang tak memiliki keberanian mempertahankan pendapat-pendapatnya sendiri, dan yang tak sanggup menentukan sikap bagi dirinya.

Pribadi seperti itu bisa diangap sebagai orang yang malu dan rendah diri saat ditanya apa rasa makanannya, apa musik yang mereka dengar, bagaimana pakaian yang mereka kenakan, mereka tak mampu mengakui apakah mereka menyenangi atau tak menyenangi semua itu. Itu karena bukan mereka lagi yang memutuskannya.

Mereka harus diajari berbagai pakaian pakaian yang dikenakan di Eropa, hingga mereka bisa menyukainya. Mereka diajari bahwa makanan tertentu yang rasanya pahit yang, sebenarnya bagi mereka rasanya seperti racun, namun dimakan di Eropa dan, karenanya, mereka bisa memakannya, walaupun tak sesuai dengan cita-rasa mereka.

Tapi mereka makan juga karena orang-orang Eropa memakannya; mereka tak memiliki keberanian dan tak memiliki keyakinan untuk mengatakan bahwa mereka tak menyukainya. Di Eropa dan Amerika, saat orang meyaksikan orang memainkan musik jazz dan mereka tak menyukainya, mereka bisa mencemooh dengan kasar dan keras. Namun di negeri-negeri timur tak ada yang cukup berani untuk mengatakan "Musik jazz itu jelek dan aku tak menyukainya."

Mengapa? Karena mereka tak tak mengizinkan dia memiliki cukup kepribadian dan memiliki nilai kemanusiaan sehingga dia bisa memilih warna pakaiannya dan rasa makanannya. Sebagaimana yang dikatakan olei Frantz Fanon: "Agar negeri-negeri Timur menjadi pengekor, penjiplak, pengikut negeri-negeri Eropa dan menirunya layaknya monyet, mereka harus membuktikan orang-orang non-Eropa bahwa mereka  tak memiliki kwalitas nilai kemanusiaan yang sama sebagaimana yang dimiliki orang-orang Eropa. Mereka harus meremehkan sejarahnya sendiri, sastranya sendiri, agamanya sendiri, dan seninya sendiri agar mereka terasing dari semuanya itu. Dengan gamblang kita bisa menyaksikan orang-orang Eropa melakukan itu semua."

Mereka menciptakan orang-orang yang tak mengenal kebudayaannya sendiri, namun bersedia melecehkannya. Mereka sama-sekali tak paham Islam, namun bisa menghina Islam. Mereka tak mampu memahami puisi yang sederhana sekalipun, namun menjelek-jelekkan pemilihan katanya. Mereka tak mengerti sejarahnya sendiri, namun tak sungkan-sungkan mengutuknya.

Di sisi lain, tanpa ragu, mereka menghormati semua yang di-impor dari Eropa. Akibatnya, pribadi yang tercipta adalah, pertama, pribadi yang terasing dari agamanya sendiri, dari kebudayaannya sendiri, dari sejarahnya sendiri, dan dari latar belakangnya sendiri serta, kemudian, meremehkannya, merendahkannya. Ia bisa diyakinkan bahwa ia lebih rendah ketimbang orang-orang Eropa.

Dan bila keyakinan tersebut sudah mengakar dalam dirinya ia akan mencoba dan berharap bisa menolak dirinya sendiri, mengutuk kaitan dirinya dengan segala hal (obyek) yang melekat pada dirinya dan, dalam beberapa hal, merasa dirinya layaknya orang Eropa, yang tidak rendah diri dan merasa bangga serta, paling tidak, bisa mengatakan, "Terima kasih Tuhan, aku bukan lagi orang Timur karena aku sudah berhasil me-modern-kan diriku hingga ke tingkatan layaknya orang Eropa."

Dan saat orang-orang non-Eropa berbahagia, karena telah memiliki gagasan-gagasan bahwa dirinya sudah di-modern-kan, kapitalis dan borjuis Eropa tertawa terbahak-bahak atas keberhasilannya mengubah dia, bagian dari orang-orang negeri Timur, menjadi konsumen kelebihan produksinya. (eh)

Danial Indrakusuma adalah aktivis buruh dan pemerhati sosial politik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya