Anggota BPK, Ali Masykur Musa

"Triliunan Anggaran Bansos Tak Tepat Sasaran"

Ali Masykur Kunjungi VIVA.co.id
Sumber :
  • VIVAnews/Muhamad Solihin

VIVAnews -  Nama Ali Masykur Musa kembali bergaung paska keikutsertaannya dalam konvensi calon presiden Partai Demokrat. Ali pernah populer saat masih duduk di kursi wakil rakyat dan ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa era Gus Dur.

2.000 Hewan Ternak Dilakukan Vaksinasi Antisipasi Wabah PMK Secara Gratis

Namun, lima tahun terakhir, saat ia masuk jajaran pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan, pamornya melempem. Kultur kerjalah yang membuat lulusan FISIP Universitas Jember ini lebih banyak diam. "BPK memiliki karakter yang berbeda dengan DPR," kata dia.

Di DPR, sebagai politisi, orang bisa bicara mengenai semua isu, berasumsi tanpa tedeng aling-aling, karena mereka memang dituntut banyak bicara. Berbanding terbalik dengan BPK.

Ternyata Buah Delima Punya Manfaat untuk Sembuhkan Kanker, Benarkah?

Di BPK, anak keempat dari pasangan KH Musa Asy'ari dan Hj Muthmainnah ini bukan politisi lagi, tapi birokrat. Dan, selaku birokrat yang kerjanya berurusan dengan audit, pria yang biasa disapa Cak Ali ini harus hati-hati bicara dan tidak bisa berasumsi seenaknya.

Ali memulai kariernya sebagai dosen FISIP di almamaternya pada 1987 hingga 1999. Namun, nahdliyin sejati ini kemudian memilih terjun sebagai politisi, impiannya sejak muda.

Prediksi LaLiga: Real Madrid vs Barcelona

Kiprah politiknya mulai tampak ketika ia terpilih sebagai anggota DPR dari PKB selama dua periode 1999-2004 dan 2004-2009, sebelum akhirnya menjadi anggota BPK periode 2009-2014.

Saat berkunjung ke kantor redaksi VIVAnews pada 16 Januari 2014, pria kelahiran Tulungagung 51 tahun silam itu mengungkap banyak hal, dari temuan-temuan BPK, hingga peluangnya maju sebagai capres dari Demokrat. Siapakah pesaing di konvensi yang membuatnya gentar? Berikut petikannya:

Di BPK, apa audit yang sedang ditangani saat ini?

BPK ini memiliki karakter yang berbeda dengan DPR. Kalau DPR setiap isu dan indikasi sudah bisa dibuka. Bahkan, asumsi saja sudah boleh DPR berbicara. Dan, memang harus banyak bicara. Tetapi, BPK tidak semudah DPR, berbicara setiap saat. Prinsipnya, baru bisa berbicara apabila laporan sudah diserahkan kepada DPR.

Dua tahun yang lalu, kami memeriksa perjalanan dinas dan kerja sama dengan pihak ketiga dalam bentuk event organizer (EO) yang banyak disalahgunakan. Itu soal perjalanan dinas fiktif. Tahun kemarin, kami mengejar bansos dan hibah yang sekarang lagi heboh, dan tidak hanya satu atau lima yang berurusan dengan hukum karena ini.

Hampir seluruh daerah ditangani oleh aparat penegak hukum. Tahun ini, tentu tidak boleh kami buka karena lagi on process. Mungkin Februari kami sudah serahkan ke DPR. Dengan demikian, akan kita ketahui lead dari temuan BPK di tahun berjalan itu apa.

Tapi, boleh dibilang, 311 kepala daerah yang berurusan dengan penegakan hukum itu rekomendasi dari BPK, kecuali operasi tangkap tangan. Artinya, temuan BPK itu bukan serta merta cut off setelah tahun berjalan. Jadi, temuan BPK itu bisa dibuka lagi pada tahun berikutnya sampai kepala daerah itu tidak lagi menjabat. Karena, proses hukum itu terus berjalan dan BPK tetap menyerahkannya kepada penegak hukum.

Dari temuan BPK, berapa besar penyelewengan dana bansos?

Begini, hampir seluruh daerah mempunyai masalah bansos. Modusnya ada tiga. Pertama, dalam bentuk fiktif atas usulan yang ada karena di biro dinas sosial setempat ada yang disebut biro jasa membuat proporsal. Dengan demikian, dia membuat proposal seakan-akan diberikan kepada yang lain, tapi dana nggak sampai. Seperti yang kasus di Banten itu ada 114 dari proposal yang dicairkan, tapi pihak yayasan atau sekolah itu tidak merasa mendapatkan. Itu salah satu modusnya.

Kedua, diterima tapi tidak sesuai dengan besaran yang ada, karena dipotong oleh aparat yang ada di depan. Nah, yang ketiga, modusnya berhubungan dengan proses politik di suatu tempat (Pilkada). Padahal, menurut UU, setiap program yang kaitannya dengan bansos ataupun hibah harus jelas peruntukannya, untuk siapa, dan besarannya berapa.

Bansos sering dimanfaatkan untuk kepentingan politik penguasa di daerah. Dengan temuan tiga modus itu, apa rekomendasi BPK?


Sebaiknya program bansos itu dikembalikan pada peruntukannya, untuk stabilisasi masalah sosial kemasyarakatan atau raskin yang memang betul-betul masyarakat butuhkan. Definisi bansos itu kan menstabilkan masyarakat yang tidak mampu. Yang kedua, program yang bersifat fisik seperti membangun sekolah lokal, atau belanja barang seharusnya kembalikan pada dinas setempat atau kementerian. Karena, sekarang ini nomenkelatur bansos itu tidak hanya dalam bentuk belanja di anggaran Kemensos, tapi ada juga di Kemenpera, Kementerian Kesehatan, Kemenag, bahkan di Kementerian PU juga ada. Postur nomenkelatur bansos itu di kementerian cenderung disalahgunakan.

Dari total anggaran bansos di APBN, berapa yang diselewengkan?


Tahun anggaran 2012, anggaran bansos nasional naik dari Rp57 triliun ke Rp75 triliun, dengan satu kriteria menjelang pilkada suatu tempat itu (anggaran) cenderung meningkat. Biasanya menjelang pilkada, postur alokasi APBD itu meningkat. Secara nasional juga begitu. Temuan BPK, sekitar Rp13 triliun sekian dari Rp75 triliun tidak tepat sasaran. Bahkan, ada Rp1,3 triliun yang dicairkan tapi tidak disalurkan. 2013 on process belum bisa kami buka.
 
Kecenderungan anggaran 2013, penyalahgunaan bansos meningkat atau bagaimana?


Kami belum bisa memastikan, tetapi kalau melihat frekuensi APBN dan APBD-nya meningkat, diperkirakan akumulasi juga meningkat.

Anggaran bansos cenderung naik, tapi penyalahgunaannya juga tinggi. Bagaimana pengawasan dari BPK?

Dalam memeriksa, kami mempunyai sesuatu yang disebut risiko anggaran. Itu bisa dilihat dari dua moment yang sedang berjalan. Yang kedua, jumlah anggaran itu sendiri. Jadi, kalau jumlah anggarannya besar, biasanya kecenderungan penyalahgunaan itu juga besar. Momen pilkada itu juga amat mempengaruhi penyalahgunaannya.

Ini kan bukan pola baru, setiap ada pemilu di daerah bansos jadi andalan. Bagaimana ke depannya?

Itu lemahnya kami. Kami tidak merangkap sebagai policy maker yang menyangkut budget policy. Kami kan hanya mengaudit budget yang dibuat presiden bersama DPR atau bupati dengan DPRD-nya. Dengan demikian, BPK hanya mampu merekomendasikan dua tadi. Tujuan bansos dikembalikan dan sistem penganggarannya dikembalikan ke dinas terkait. Jadi, jangan diberi kebebasan atas kepala daerah membelanjakan gelondongan.

Pada temuan 2012, di daerah ada biro-biro yang kerjanya bikin proposal. Kok bisa. Rekomendasi BPK apa?

Biro itu boleh tapi bukan oleh pemerintah. Itu oleh pihak yang membutuhkan, tempat ibadah, pendidikan yang betul-betul membutuhkan. Selama ini kan tidak. Bahkan, yang menerima pun tidak tahu akan menerima. Copy paste saja, kan tinggal yayasannya apa, diganti alamatnya.

Soal rekomendasi, sedang kami lakukan pemeriksaan. Tahun 2012 berarti awal 2013 kemarin sudah menjadi bagian dari rekomendasi BPK kepada auditee yang kami periksa dan pengambil kebijakan anggaran, dalam hal ini DPR dan DPRD.

Kalau liat postur anggaran 2013, jumlah anggaran bansos nasional memang turun. Tetapi, 2014, nomenkelatur bansos masih muncul. Ini karena rekomendasi BPK agar bansos jangan dijadikan nomenkelatur yang berhubungan dengan politik masih belum efektif didengarkan oleh pemerintah. Bukan daerah saja, tapi pusat juga. Karena nomenkelaturnya masih muncul di APBN dan APBD.

Dalam sistem APBN yang bagus itu semuanya on budget dan on result. Tujuannya harus jelas. Tidak boleh ada anggaran yang ditetapkan APBN dan APBD yang diserahkan begitu saja. Oleh karena itu, kalau saya jadi capres dan presiden, akan melakukan penertiban ABPN.

Sebelum anggaran turun, apa BPK juga memberi rekomendasi?

Posisi kami kan hanya sebatas rekomendasi atas hasil pemeriksaan. Agar tertib anggaran yang ada di pemerintah serta DPR dalam bentuk APBN dan APBD, kami tidak ikut memutuskan. Nah, jadi tindak lanjut pemeriksaan yang bagus manakala rekomendasi banyak dijalankan. Terus pertanyaan berikutnya, apakah rekomendasi itu tidak dijalankan? Oh iya, betul. Hari ini yang dijalankan secara efektif itu hanya 30 persen. Jadi, hanya 33 persen dari total rekomendasi BPK yang dijalankan. Yang 40 persen dijalankan, tapi tidak sepenuhnya. Yang 27 persennya diabaikan.

Contohnya begini. Terhadap temuan yang cacat administrasi, uang yang harus dikembalikan kepada negara itu biasanya mencapai angka 40 persen, itu cacat administrasi. Itu bisa di-delay. Tapi, kalau yang ada indikasi kerugian negara, biasanya cepat dikembalikan karena takut akan menjadi pidana dan itu menjadi wilayah hukum yang tidak ada hubungannya. Yang diabaikan, biasanya rekomendasi untuk mengubah regulasi. Itu lama dan lamban sekali. Koordinasi antar departemen juga lamban, padahal regulasi yang lemah itulah sumber masuk penyalahgunaan atau potential lost kekayaan negara. Ini cenderung lama atau malah diabaikan.

Ini kesengajaan atau bagaimana?

Kesimpulannya adalah itu temuan berulang dan rekomendasi berulang. Nah, saya sampaikan dalam posisi sekarang BPK juga lamban, belum ada peraturan BPK yang mengatur atas kasus dan temuan yang berulang itu posisi hukum dan posisi auditnya bagaimana.

Kalau temuan dan rekomendasi BPK yang terindikasi pidana, contoh yang dijadikan lentingan kebijakan berikutnya adalah kasus pemeriksaan BPK terhadap Pertamina yang melakukan aksi korporasi. Dia ke mana-mana menjual nama BPK, kalau saya tidak naikkan (harga elpiji), nanti itu pidana karena perusahaan ini harus profit. Jadi, auditee kadang-kadang tidak fair dalam melihat temuan BPK yang menguntungkan mereka. Yang ada unsur pidananya dijalankan dan yang memperbaiki regulasi itu tidak dilihat.

Anda ikut konvensi capres Partai Demokrat, bagaimana perkembangannya?

Tanggal 7 Januari, saya sudah presentasi di depan panelis. Tanggal 21-23 Januari ke 10-12 kota debat antar kandidat. Terus terang saya siap debat dengan capres kandidat lainnya.

Banyak pendapat, konvensi hanya settingan, capres yang bakal diusung sudah ada. Betul?

Politik itu kan serba mungkin, tapi politik itu kan harus juga didasarkan pada itikad baik. Karena itu, saya masih menaruh kepercayaan kepada komite konvensi yang meletakkan itikad baik kepada panelis untuk mencari siapa yang terbaik. Sehingga, hasil survei yang dilakukan oleh konvensi akan dijadikan dasar menentukan siapa yang akan jadi calon presidennya Demokrat.

Nah, andaikan ada asumsi yang mengatakan itu hanya lips service belaka,  silakan. Itu bagian dari hegemoni politik antar partai. Tetapi, saya kok mempunyai prediksi, Demokrat tidak akan gegabah meletakkan konvensi sebagai akal-akalan.

Sewaktu penyampaian misi visi, Edhie Pramono (peserta konvensi) diantar petinggi-petinggi partai, yang lain tidak?


Kan saya biasa aktif, jadi ditemani atau tidak ditemani tetap berani.

Dari seluruh peserta konvensi, elektabilitas Dahlan Iskan paling tinggi, modal Anda apa untuk mengalahkan Dahlan?

Jadi begini, ada dua strategi. Pertama itu bermain di bunga, flower, artinya pencitraan lebih diutamakan dan itu menjadikan publik langsung appreciate. Selain itu, melakukan pendekatan root, akar.  Saya jadi bagian yang kedua. Dalam dua bulan terakhir, saya melakukan pendekatan ke akar rumput. Massa NU (Nahdlatul Ulama) itu tidak semuanya main twitter, handphone, internet atau elektronik. Tapi, ada di pedesaan yang tidak terakses oleh electronic polling yang aksesnya telepon.

Karena itu, memang memulai 2014, Januari, saya mulai bergeser dari root to flower. Mudah-mudahan perpaduan ini bisa menghasilkan buah, karena itu saya berkeyakinan masih ada waktu mengejar elektabilitas. Karena, kan nanti yang disurvei bukan yang punya telepon saja, tapi seluruh masyarakat yang punya latar sosial ekonomi, desa kota, kemudian menyangkut Jawa. Luar Jawa itu semua kan ada random sampling yang akan diambil.

Dari grassroot ke pencitraan apa yang akan Anda lakukan?

Ya, secara umum akan ke sana, tapi kalau dibuka nggak enak. Saat ini kan sudah debat antar kandidat, sekarang orang sudah mulai membandingkan ide satu dengan yang lain, yang mana yang dikenal masyarakat. Modal saya itu pertama, NU. Kedua, young voters, pemilih muda atau pemilih pemula. Masyarakat ingin wajah baru dalam konteks kepemimpinan. Ketiga, kalau ditanya modal mudah-mudahan pluralisme yang dianut oleh Gus Dur, insya Allah jaringan ini juga menjadi modal saya. Karena saya menyimpulkan tidak ada Indonesia tanpa ada toleransi. Dan, itu mungkin insya Allah saya menjadi bagian yang mainstream, yang toleran di dalam sistem kebangsaan yang amat heterogen ini.

Jadi sudah dapat restu keluarga Gus Dur. Sudah ke Ciganjur (kediaman keluarga Gus Dur)?

Secara umum kan sudah menjawab. Kecuali partai tertentu boleh menggunakan, hahaha.

Dari NU bisa menyedot suara berapa persen?

Dalam konteks komite konvensi saya tidak ingin menyebutkan satu-satunya. Tetapi, yang asli dari NU itu rasanya saya. Jadi yang penting, dalam konvensi, masyarakat NU probability-nya akan memilih saya.

Konvensi ini batu loncatan nggak sih? Jadi, menang ataupun tidak yang penting tahun tahun depan eksis?

Perlu saya ulangi bahwa saya jadi peserta konvensi ini tidak daftar dan tidak mengajukan, saya diundang. Bisa dikatakan, cuma satu yang non dropping dari majelis tinggi dan Partai demokrat. Dalam posisi seperti ini, saya menyampaikan, kenapa saya mau menerima. Pertama, dari segi syariat, tidak ada alasan untuk saya menolak undangan. Hadistnya mengatakan wajib datang. Apalagi kalau dalam Islam memilih pemimpin adalah bagian terpenting dalam memilih sistem fiqih. Dan, seluruh tokoh yang saya datangi sebelum menerima itu jawabannya sama, lah wong diundang kok repot, jalani saja sampai selesai.

Yang kedua, saya itu aktivis sejak dulu. Jadi, hidup saya itu full untuk berorganisasi. Saya mengenal organisasi dari SMP akhir sampai SMA. Jadi, saya nggak pernah lepas dari organisasi. Konvensi ini juga jadi bagian wacana saya atas pengalaman saya sebagai dosen 12 tahun, DPR 10 tahun, BPK 5 tahun, rasanya ini bekal yang cukup untuk duduk di eksekutif. Pengamat sudah, pengawas sudah, yang belum itu pelaksana. Jadi, yang penting itu mengabdi untuk negara bukannya batu loncatan karena jabatan itu adalah bagian yang harus dipegang dan itu amanah.

Pernah terpikir atau bermimpi suatu saat jadi presiden?

Presiden belum. Cita-cita saya dari kecil itu dua, pertama politisi dan kedua itu diplomat. Makanya, saya ambil FISIP Hubungan Internasional. Begitu masuk jadi ketua umum PMII, saya sudah mulai terbentuk untuk menjadi politisi. Presiden saat itu belum, tapi begitu jadi pimpinan partai, saat saya jadi ketua umum PKB-nya Gus Dur pasti terbesit. Semua pimpinan partai pasti ingin.

Anginnya kan kencang kalau semakin tinggi?

Memang, tapi angin itu kan potensi dan energi, jadi kita syukuri saja apa yang terjadi. Selama kita nggak salah jalan, nggak usah takut terhadap angin.

Balik ke modal Anda. Dari sejumlah hasil survei pemilih Demokrat itu nggak ada yang tahu soal konvensi. Bagaimana Anda bisa meyakinkan pemilih pemula?

Terhadap asumsi pemilih pemula nggak tahu konvensi dan belum tentu, Demokrat tidak menolak ada penilaian seperti itu. Mengapa, karena memang ada yang saya sebut asymmetric correlation. Hubungan yang tidak korelasi antara ruling party dan pemilih itu memang tidak simetris. Dan, itu karakter di mana saja ruling party itu pasti diserang. Dan, saya yakin bulan Januari adalah bukan posisi saling serang atau menyandera. Karena, semua partai sedang dalam kondisi menyiapkan diri, sehingga ngapain harus mengurus partai lain. Jangan-jangan konstituen partainya malah ditinggal.

Kalau sekarang partai Demokrat diasumsikan 10 persen, saya yakin masih akan terdongkrak 2-3 bulan ini. Ini kan last competition, sprint semua. Itu kalau noleh kanan kiri sudah ketinggalan. Jadi, semua akan sprint sampai 9 April. Data yang diperoleh Pak SBY waktu kita dikumpulkan menyebutkan, Demokrat itu partai ketiga yang terpuruk dari seluruh case partai di Indonesia. Karena, kita ruling party, mudah dijadikan common enemy.

Ke depan, bagaimana perolehan suara Demokrat yang saat ini babak belur? Sedangkan syarat perolehan suara 20 persen, bisa nggak terpenuhi?

Kalau nggak terpenuhi, kewenangan konvensi itu akan dikembalikan lagi.
Saya jawab sebagai individu, bukan komite konvensi, sangat dimungkinkan Demokrat harus berkoalisi dengan partai lain. Sekarang selaku komite konvensi, Demokrat masih ada waktu untuk mendapatkan suara mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden sendiri.

Apakah nanti majelis tinggi menentukan capres sesuai hasil konvensi?

Sejauh ini tata cara konvensi menyebutkan, hasil konvensi itulah yang akan menjadi dasar pengambilan keputusan majelis tinggi. Tetapi, ini politik, jadi kami kembalikan pada hasil akhir dan menunggu pemilu legislatif yang akan datang. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya