ANDI MALLARANGENG

Ramalan Piala Dunia: Ilmu dan Intuisi

Andi Mallarangeng
Sumber :

Pengantar Redaksi:

Sejak berada dalam tahanan KPK, Andi Mallarangeng punya lebih banyak waktu luang. Sambil menunggu pengadilan, ia mencoba memanfaatkan waktunya secara produktif dengan membaca dan menulis. Aturan KPK tak membolehkan penggunaan laptop, iPad dan semacamnya oleh para tahanan. Andi menulis artikel ini dengan tulisan tangan, dan kemudian disalin kembali oleh Redaksi VIVAnews agar bisa dinikmati oleh pembaca. Andi berusaha menulis di rubrik “Analisis” sekali seminggu.


-----------------

Kiprah Pemain Muda Berprestasi di Voli Fikri "Marjose" Sampai Tahun 2024

VIVAnews - Perhatian masyarakat pada Pemilu Presiden 9 Juli mendatang bisa jadi bakal tersaingi oleh gegap-gempita turnamen olahraga terpopuler sejagat, Piala Dunia Sepakbola di Brasil. Turnamen ini akan berlangsung mulai 12 Juni hingga 13 Juli 2014.

Sama seperti di hampir semua negara, sepakbola adalah sebentuk agama rakyat yang bersifat universal, lintas suku, agama, negara dan ras. Dengan sepakbola, perbedaan menyatu, hanya dibatasi oleh pilihan tim favorit, dan selebihnya adalah kebersamaan, pertalian semangat, yang diiringi oleh suasana festival yang dirayakan oleh miliaran manusia.

Intinya, Piala Dunia adalah pesta rakyat yang dirayakan paling luas se-dunia. Karena itulah, tidak bisa dipungkiri bahwa perhatian rakyat kita juga akan tumpah ke lapangan hijau di Brasil dan sebagai akibatnya, perhatian pada para kandidat capres dan cawapres akan sedikit berkurang.

Mungkin hal tersebut justru perlu disyukuri. Akhir-akhir ini terasa ada gejala peningkatan ketegangan di antara dua kubu pendukung capres. Kampanye hitam meningkat, dan suasana saling mengejek serta merendahkan terasa lebih tajam dalam dua tiga minggu belakangan ini.

Jadi kita berharap, dengan dimulainya Copa del Mundo 2014, dengan berbunyinya pluit pertama di Brasil dan para bintang sepakbola dunia mulai berlaga, para capres kita berikut tim sukses mereka juga akan larut dalam semangat kebersamaan dan terinspirasi oleh jiwa sportifitas olahraga. 

Siapa tahu, dalam hal dukungan bagi tim tertentu, Brasil, Jerman, Italia, atau Portugal, sebenarnya kubu capres yang ada memiliki kesamaan. Cross-section affilliation: Bisa jadi, dalam kompetisi capres, kubu yang satu adalah kubu Prabowo, sementara kubu yang lain adalah pro-Jokowi, tapi ternyata keduanya adalah pendukung fanatik tim Brasil dengan kaos kuningnya yang mirip warna Partai Golkar, atau tim Italia yang kaos birunya mirip warna Partai Demokrat dan PAN.

Sekali lagi, dengan begitu, semua ketegangan menjelang Pilpres 2014 pada 9 Juli nanti menjadi cair. Semua menunggu permainan cantik di lapangan hijau dan pada akhirnya semua akan merasa happy, siapa pun yang kelak akan keluar jadi pemenang.

Soal menang dan kalah: jawaban terhadap pertanyaan ini pasti ditunggu miliaran orang se-dunia. Siapa yang akan menjadi merajai pertandingan di Brasil? Bagaimana kita meramalkannya? Pertanyaan seperti ini juga pasti terkandung di benak rakyat kita dalam hubungannya dengan Pilpres 2014 nanti.

Bedanya, tentu saja, pilpres dapat diramalkan lewat survei, quick count, atau polling yang bersifat akademis, sementara untuk piala dunia tidak cara apapun yang bisa dilakukan. Rahasia Tuhan di lapangan hijau tidak bisa diungkapkan dengan cara akademis sekalipun (kalau bisa lewat survei jajak pendapat, maka ramalan pemenang Piala Dunia pasti ditentukan oleh opini rakyat di China dan India, sebab sample di kedua negara ini mewakili porsi terbesar penduduk se-dunia.) 

Tapi kalau survei dan polling tidak mungkin dilakukan, betulkah bahwa ramalan pertandingan di Brasil tidak mungkin dilakukan lewat kajian ilmiah? Kalau prediksi amatiran pasti sudah sering kita dengar.

Brasil adalah kandangnya jenius lapangan hijau, dari Pele, Gerrincha, Socrates, Ronaldo, dan karena itu kali ini pasti akan muncul bintang-bintang yang membawa tim kaos kuning ini menjadi juara; home court advantage, main di kandang sendiri, hal ini adalah keuntungan tersendiri yang akan memperbesar peluang  bagi tim Brasil; permainan cantik ala Brasil akan lebih ampuh melawan gaya permainan apapun; dan sebagainya.

Semua itu adalah cara “pinggir jalan” dalam mengantisipasi hasil akhir di Piala Dunia. Sah-sah saja, tetapi akurasinya sulit dipertanggungjawabkan.

Yang menarik, banyak kalangan yang ternyata berusaha menutup kelemahan kajian pinggir jalan semacam itu dengan telaah yang bersifat akademis. Sepakbola dikaji secara mendalam dengan kaidah-kaidah keilmuan. Contohnya adalah Prof. Stefan Szymanski, guru besar ekonomi di Cass Burness School, London, dan Simon Kuper, seorang wartawan Inggris. Kedua tokoh ini menganalisis database pertandingan internasional anggota FIFA selama periode 1980-2001 dengan metode statistik.

Teori Soccernomics

Dalam Soccernomics, sebuah buku menarik yang terbit pada 2009, mereka mengidentifikasi tiga faktor penting yang menentukan mengapa sebuah negara bisa merajai cabang olahraga sepakbola. Ketiga faktor tersebut adalah, pengalaman, populasi, dan pendapatan per kapita. Teori mereka menarik, karena ketiga faktor ini jarang disebut oleh para pengamat bola yang biasanya lebih memperhatikan bintang, pelatih, atau gaya permainan sebuah tim.

Prof. Szymanski dan Simon Kuper membuktikan bahwa pengalaman bertanding internasional memberi pengaruh yang signifikan bagi capaian suatu negara dalam sepakbola. Semua raksasa sepakbola dunia seperti Inggeris, Brasil, Argentina, dan Jerman telah bermain lebih dari 700 kali sejak pertama kali sepakbola dipertandingkan (data mereka hanya sampai pada data tahun 2001). Pengalaman ini melahirkan tradisi dan jam terbang bagi negara-negara tersebut yang sangat penting dalam menentukan kemenangan.

Faktor berikutnya adalah jumlah penduduk suatu negara. Faktor ini ternyata juga berpengaruh kuat terhadap prestasi sepakbola. Jumlah penduduk yang besar menciptakan kemungkinan yang juga besar dalam merekrut bakat-bakat terbaik bagi tim sepakbola suatu negara.

KSPSI Bakal Bangun Pusdiklat Terbesar di RI, Andi Gani Pede Selesai 1,5 Tahun

Hampir semua pemenang Piala Dunia adalah negara-negara dengan jumlah penduduk besar: Brasil (198 juta), Jerman (82 Juta), Perancis (64 Juta), Italia (58 Juta), Inggeris (61 Juta), Spanyol (40 Juta), Argentina (40 Juta).

Tentu, dalam hal ini kita bisa bertanya, lalu bagaimana dengan China, India, Amerika Serikat, dan Indonesia: empat negara dengan populasi terbesar di dunia? Barangkalli kita bisa berkata, keempat negara ini adalah penyimpangan dalam trend statistik, dan karena itu keempatnya adalah underachievers dalam dunia sepakbola. PSSI, bersama India dan AS, malah termasuk 10 underachievers terburuk di dunia.

Analisis dan data seperti ini membuat kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: apa sebabnya prestasi PSSI jauh di bawah potensi kita yang sebenarnya, diukur dari besarnya jumlah penduduk dan kemungkinan munculnya bakat-bakat yang brillian di lapangan hijau? Faktor pengurus yang terus bertikai? Mismanagement? Dana yang kurang? Pola pertandingan yang serampangan? Metode pembibitan pemain muda yang tidak jelas?

Saya tidak tahu jawaban terhadap pertanyaan tersebut. Kita serahkan pada pencinta dan kaum ahli persepakbolaan kita untuk menjawabnya serta mencari solusi terhadapnya.

Faktor berikutnya adalah tingkat kesejahteraan ekonomi suatu negara, yang diukur lewat pendapatan per kapita. Prof. Symanski dan Simon Kuper menganggap bahwa faktor ini tidak kurang pentingnya dalam menjelaskan kekuatan dan capaian prestasi sepakbola sebuah negara.

Tidak dapat disangkal, negara-negara maju tetap mendominasi sepakbola dunia. Mulai dari asupan gizi, tinggi badan dan postur, infrastruktur olahraga, pelatih-pelatih bermutu, hingga kemampuan ekonomi keluarga untuk membiayai pelatihan olahraga anak – semua ini memberi dukungan besar bagi munculnya atlet-atlet yang berbakat.

Bakat-bakat terbaik di negara maju dilatih dengan benar, di tempat yang nyaman, dengan pelatih berkualitas, dan dengan sarana olahraga yang terbaik. Hasilnya adalah timnas sepakbola yang menjadi raksasa dunia.

Prof. Symanski dan Simon Kuper juga membandingkan ketiga faktor penting tersebut: faktor apa dari ketiganya yang terbukti paling menentukan prestasi sebuah negara?

Dengan analisis statistik yang akurat, kedua ilmuwan bola tersebut menjelaskan bahwa jika suatu tim mempunyai pengalaman bertanding dua kali lebih banyak dari lawannya, maka tim tersebut mendapat keuntungan sekitar setengah gol. Pada saat yang sama, menurut mereka, jika jumlah penduduk tim tersebut dua kali lebih besar dari jumlah penduduk tim lawannya, maka keuntungan yang ada hanyalah 1/10 gol.

Faktor ekonomi juga ternyata sami mawon. Penting, mendasar, tetapi pengaruhnya tidak sekuat faktor tradisi dan pengalaman bertanding.

Jelang Lebaran, RI Impor 22.500 Ton Beras dari Kamboja

Pengaruh faktor ekonomi ini hampir sama dengan pengaruh besaran populasi. Artinya, menjadi negara besar dan kaya memberi keuntungan bagi suatu negara dalam pertandingan sepakbola, namun tradisi serta pengalaman bertanding yang lebih panjang akan lebih menentukan.

Pertanyaan kita sekarang: kalau semua faktor-faktor tersebut bisa diukur pengaruhnya, apakah kita bisa meramalkan siapa pemenang Piala Dunia di Brasil nanti? Bagi para petaruh dan penjudi di semua kelas (atas, bawah, menengah): apakah analisis statistik Prof. Symanski dan Simon Kuper dapat dijadikan dasar untuk meraup keuntungan besar?

Ternyata tidak juga. Dan barangkali karena itu kita patut bersyukur. Menurut Prof. Symanski dan Simon Kuper, ketiga faktor tersebut bersama-sama hanya mempengaruhi sekitar 25 persen variasi dari hasil pertandingan. Artinya, masih ada ruang yang sangat terbuka dari faktor-faktor lain yang bisa mempengaruhi hasil pertandingan, termasuk faktor X.

Dan karena itu pula kita masih bisa berdebat panjang tentang siapa yang bakal jadi juara nantinya. Dalam nobar, di pinggir jalan atau di café-café mewah kita masih bisa berteori dan menebak-nebak dengan argumen masing-masing.  Kalau tidak, sepakbola akan membosankan dan kita tak perlu menontonnya karena semua bisa ditentukan “di atas kertas.”

Oh ya, Prof. Symanski dan Simon Kuper juga melihat satu faktor lagi, yaitu soal posisi dan keuntungan sebagai tuan rumah, home-court advantage. Faktor ini ternyata memberikan keuntungan sekitar 2/3 gol, sebuah hal yang tampaknya cukup penting jika dibandingkan dengan ketiga faktor di atas tadi, yang memang sudah terbukti beberapa kali. Dan dalam Piala Dunia 2014, Brasil adalah peraih keuntungan dari faktor ini. 

So, Brasil it is? Tim pewaris Pele akan merajai Copa del Munda kali ini? Bayangkan, faktor penduduk besar ada, kemajuan ekonomi dapat, tradisi dan pengalaman bola panjangnya bukan main, plus posisi sebagai tuan rumah: mau apalagi? Pada titik ini, ramalan statistik dan kajian ilmiah berjalan seiiring dengan analisis pinggir jalan maupun sentimen umum penggemar sepakbola. Ilmu dan intuisi bertemu, dan hasilnya kurang lebih sama.

Tapi hati-hati. Bola bundar. Selama masih bundar, jangan coba-coba memastikan hasil akhir sepakbola. Nanti kecewa sendiri, atau rugi besar.

Kita berharap, siapa pun pemenang di Brasil, pertandingan yang akan tersaji di layar tv kita akan tetap cantik, menegangkan, bersemangat, serta diwarnai oleh jiwa yang sportif dan bersahabat. Selamat menikmati.

11 Juni 2014


Andi Mallarangeng adalah doktor ilmu politik lulusan Northern Illinois University, DeKalb, Illinois, AS.


Baca juga Kolom Andi Mallarangeng lainnya:

























Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya