Dirut Bank OCBC NISP, Parwati Surjaudaja

Risiko Kredit Tantangan Bank Tahun Ini

Presiden Direktur Parwati Surjaudaja
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id - Pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat selama triwulan I-2015. Perekonomian Indonesia yang diukur berdasarkan besaran produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku periode itu mencapai Rp2.724 triliun.

Ekonomi Indonesia triwulan I-2015 terhadap triwulan I-2014 hanya tumbuh 4,71 persen. Melambat dibanding periode yang sama pada 2014 sebesar 5,14 persen.

Alasan Mengapa Harus Segera Lunasi Utang

Kondisi itu juga berpengaruh pada industri perbankan. Apalagi, selama 1-2 tahun terakhir, perbankan dihadapkan pada pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, suku bunga, dan kondisi likuiditas.

Tahun ini, bank juga dihadapkan pada risiko kredit. Meski, per Februari 2015, NPL (non-performing loan) industri perbankan tercatat 2,43 persen, atau masih di bawah ketentuan Bank Indonesia sebesar 5 persen, tugas bank tetap tak mudah. 

Kinerja Kredit BCA 2015 Tumbuh 11,9 Persen

Lantas, bagaimana perbankan nasional menyikapi situasi ini? Terutama menghadapi era persaingan di kancah regional seiring akan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)?

VIVA.co.id, berkesempatan mewawancarai Direktur Utama PT Bank OCBC NISP Tbk, Parwati Surjaudaja, di kantornya, belum lama ini. Berikut petikannya:

BI Turunkan Giro Wajib Minimum Jadi 6,5%

Bagaimana Anda melihat kondisi perbankan nasional saat ini?
Di tengah kondisi makroekonomi yang belum sepenuhnya kondusif saat ini, kinerja perbankan masih cukup baik. Ditunjukkan dengan rasio kecukupan modal (CAR) pada Februari 2015 sebesar 21,3 persen. Lebih tinggi dibandingkan Desember 2014 sebesar 19,6 persen. Penyaluran kredit perbankan tumbuh 12,2 persen (yoy) menjadi Rp3.666 triliun. Dana pihak ketiga (DPK) meningkat 15,2 persen (yoy) menjadi Rp4.151 triliun. Selain itu, NPL (non-performing loan) industri perbankan tercatat 2,43 persen pada Februari 2015, atau masih di bawah ketentuan Bank Indonesia sebesar 5 persen.

Terkait kondisi perekonomian yang melambat, apa dampak bagi industri perbankan?
Kalau perlambatan di industri perbankan sebenarnya sejak tahun lalu. Kondisi tersebut karena terpengaruh beberapa hal yang terjadi sejak dua tahun terakhir. Seperti pelemahan rupiah dan harga komoditas. Pada tahun 2014, tantangan dari likuiditas, bunga naik banyak, sampai OJK (Otoritas Jasa Keuangan) turun tangan. Tapi, 2015 likuiditas sudah membaik. Tahun ini, tantangannya di risiko kredit. Setelah kenaikan harga BBM pada kuartal IV tahun lalu, daya beli masyarakat juga belum pulih. Banyaknya tantangan ini, maka risiko kredit jadi fokus utama perbankan tahun ini.

Apa fungsi dan peran perbankan yang perlu dibenahi?
Peningkatan akses layanan keuangan dalam mendorong pertumbuhan inklusi keuangan Indonesia. Termasuk bersinergi dengan industri telekomunikasi, ritel, pasar modal, asuransi, dan institusi lainnya.

Apakah fungsi intermediasi sudah berjalan?
Sudah berjalan baik. Terlihat dari tingkat LDR (loan to deposit ratio) sebesar 88,26 persen pada Februari 2015. Untuk Bank OCBC NISP, komitmen untuk menjalankan fungsi intermediasi tercermin dari LDR sebesar 84,6 persen pada akhir triwulan I-2015.

Presiden Direktur Parwati Surjaudaja

OCBC NISP punya strategi khusus?
Karena sering dibilang selalu konservatif, rasio NPL kami baik dibandingkan industri. Memang naik, tapi masih jauh di bawah dua persen. Ini tetap kami jaga. Kami jaga rasio NPL dan kualitas aset bukan di ujungnya saja, tapi melihat seluruh rangkaian. Kami tentukan target mana yang masih visible pada kondisi sekarang. Sektor mana yang lebih visible itu kami dalami. Di luar sektor komoditas, seperti pada tekstil kah, kesehatan, atau lainnya? Itu terus kami kembangkan. Kami mencermati, tapi tetap harus tumbuh dengan baik.

CPO pun masih oke. Kalau kita bilang batu bara bermasalah, kan nggak semua. Tekstil sangat dominan. Saat ada persaingan tetap bisa survive. Ada sektor yang kami jaga, nasabah juga. Jadi yang tumbuh, seperti CPO, industri maritim, logistik, transportasi, UKM, juga kami kembangkan. Kalau di properti tantangannya memang paling besar. Kami nggak terlalu banyak di konstruksi.

Bagaimana Anda melihat minat masyarakat menyimpan dananya di bank?
Cukup tinggi. Terlihat dari kenaikan dana pihak ketiga (DPK) menjadi di atas Rp4.000 triliun pada Februari 2015, dibanding Februari 2014 yang mencapai Rp3.600 triliun, atau meningkat 15,2 persen (yoy).

Apakah selama ini ada kendala yang sering dikeluhkan nasabah?
Biasanya terkait keterbatasan akses dan biaya tinggi dalam memperoleh layanan perbankan, akibat keterbatasan jaringan dalam cakupan geografis yang luas. Untuk itu, bank akan mengoptimalkan layanan teknologi informasi dan komunikasi guna memperluas cakupan layanan keuangan seperti ATM, e-banking, dan mobile banking.

Bagaimana pula dengan konsep bank tanpa kantor cabang?
OJK mendukung program keuangan inklusif dengan mengeluarkan kebijakan layanan keuangan tanpa kantor dalam rangka keuangan inklusif atau laku pandai. Laku pandai memberikan layanan perbankan tanpa kantor atau branchless banking. Program ini membidik masyarakat yang tinggal jauh dari jangkauan bank atau berada dalam garis kemiskinan. Bank tanpa kantor cabang ini memungkinkan nasabah yang memiliki rekening elektronik bertransaksi dasar, seperti penyetoran dan penarikan uang melalui agen terlatih dan terlisensi.

Apakah program ini berhasil?
Konsep bank tanpa kantor masih relatif baru. Untuk itu perlu sosialisasi kepada masyarakat secara berkesinambungan. Pendidikan finansial penting, karena seperti pemakaian produk mobile banking lebih sulit. Membutuhkan bantuan pemerintah dalam mengembangkan literasi keuangan.

Presiden Direktur Parwati Surjaudaja

Terkait konsolidasi perbankan nasional, terutama menghadapi MEA, apa tanggapan Anda?
Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan menempatkan konsolidasi bank sebagai sesuatu yang sangat perlu. Terutama untuk menghadapi persaingan di tingkat regional. Ada dua tahap konsolidasi yang bisa ditempuh untuk memperkuat perbankan nasional. Pertama, konsolidasi strategis, lalu yang kedua konsolidasi institusi atau merger. Konsolidasi strategis dengan meningkatkan daya saing masing-masing bank melalui kerja sama teknologi informasi, infrastruktur, SDM, hingga layanan tunai mandiri.

Apakah dengan jumlah bank saat ini sudah ideal?
Jumlah bank di Indonesia terlalu banyak. Sampai akhir 2014 ada 119 bank. Terdiri atas 115 bank umum dan 4 bank persero. Dengan kondisi tersebut, perbankan nasional cukup sulit untuk bersaing dengan bank-bank di kawasan ASEAN.

Artinya, merger atau akuisisi bank bisa jadi solusi?
Proses merger sulit dan membutuhkan waktu lama. Bank harus menyesuaikan karakter yang berbeda. Namun, keberhasilan merger juga akan menciptakan bank nasional yang besar dan berdaya saing kuat di Asia Tenggara.

Bagaimana dengan Bank OCBC NISP sendiri. Apa strategi untuk bersaing di kancah regional?
Di antaranya, kami akan fokus pada peningkatan pendapatan di seluruh segmen usaha dan pertumbuhan bisnis berkesinambungan. Produktivitas jaringan kantor cabang juga akan kami tingkatkan. Kami akan melanjutkan peningkatan sinergi yang harmonis melalui perbaikan kerangka manajemen risiko. Selain itu, meningkatkan pertumbuhan CASA secara berkesinambungan serta menumbuhkan operational excellence agar dapat menjadi bank of choice bagi nasabah.

Terkait peningkatan aset?
Aset sih lanjut terus. Kami ingin pertumbuhan yang terus berkesinambungan. 10 tahun terakhir, aset OCBC tumbuh di atas 20 persen. Rasanya ini akan berlanjut, tapi harus dijaga dengan permodalan dan kualitas yang cukup.

Sebagai CEO perempuan di industri perbankan, bagaimana cara Anda membagi waktu antara pekerjaan dan keluarga?
Kuncinya adalah perencanaan. Sama seperti di kantor, semua kegiatan keluarga harus direncanakan dengan baik. Kalau sudah kuartal IV itu, saya sudah punya rencana. Mana slot-slot yang wajib antara keluarga dan kantor. Dengan teknologi, semua lebih mudah. Waktu luang, yang pasti kami isi secara berkualitas, di samping mengerti kondisi masing-masing. Kami juga mengajarkan nilai-nilai dasar, prinsip hidup, motivasi hidup. Itu yang harus diisi terus, itu tugas saya. Selama ini, komplain tetap ada. Sebelum saya mendapat posisi ini (CEO), saya juga harus musyawarah dulu. Boleh, kami sepakat mendukung, semua ada musyawarahnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya