Indra J. Piliang

Menyikapi Putusan MA: Hukum atau Politik?

VIVAnews - Ketika kita memutuskan untuk menjadi negara moderen dalam arus demokrasi yang dinamik, segala sesuatu tentu sudah dipertimbangkan dengan matang. Tradisi politik kita sudah berkembang dengan baik. Kebebasan pers juga menjadi semacam pilar demokrasi keempat.

Bagaimana dengan lembaga peradilan? Ini yang menjadi kontroversi, di tengah tarik-menarik kepentingan politik dan begitu derasnya arus pendapat para politikus. Padahal, prinsip tertinggi dalam politik adalah mematuhi hukum dan lembaga peradilan. Kalau tidak, konstitusi bisa ditabrak, negara mengalami instabilitas, bahkan bisa jadi kudeta demi kudeta bisa dilegalkan atas nama kehendak rakyat.

Atas dasar itu juga mestinya kita melihat Putusan Mahkamah Agung No. 15P/HUM/2009. Putusan itu keluar dalam proses persidangan resmi oleh hakim agung resmi yang dikeluarkan oleh lembaga resmi. MA bukan lembaga survei, bukan juga pengamat. Kedudukan MA tercantum dalam UUD 1945. Dalam konteks trias politika, MA adalah lembaga yudikatif (beserta Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial), sementara DPR adalah legislatif (beserta Dewan Perwakilan Daerah dan Majelis Permusyawaratan Rakyat) dan Presiden adalah lembaga eksekutif (beserta kepala daerah dan komisi-komisi negara lain, termasuk Komisi Pemilihan Umum).

Karena itu pula, menjadi aneh kalau Putusan MA ini dipolemikkan diluar batas-batas yang diputuskannya. Terdapat banyak sekali logika dan argumen yang berada diluar kalimat-kalimat yang disusun dalam Putusan MA itu. Misalnya:

Pertama, MA dianggap melampaui kewenangannya. Bukankah sebaliknya yang terjadi, yakni KPU yang melampaui kewenangan yang diberikan? KPU adalah pelaksana dari UU, bukan pembuat UU atau penafsir UU. MA adalah lembaga negara yang diberi kewenangan untuk menguji peraturan di bawah UU yang bertentangan dengan UU. KPU juga diberi kewenangan mengeluarkan peraturan dan keputusan oleh UU, tetapi tidak bisa dan tidak boleh bertentangan dengan UU. Secara hirarki ketatanegaraan, MA berhak menguji peraturan-peraturan KPU, selama peraturan KPU itu dibuat berdasarkan UU.

Kedua, Putusan MA dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi. Padahal jelas sekali perbedaannya. Putusan MK berkaitan dengan perhitungan tahap ketiga (ke-3) yang berasal dari sengketa pemilu yang diajukan kepada MK. Sementara, putusan MA berkaitan dengan perhitungan tahap kedua (ke-2) yang berasal dari uji materi atas peraturan KPU, bukan berasal dari sengketa perhitungan suara. MK menguji hasil perhitungan pemilu, sementara MA menguji cara perhitungan. Ketika cara perhitungan menyebabkan hasil perhitungan berbeda, tentu hal menjadi logis. Sebaliknya, tidak logis kalau hasil perhitungan menentukan cara perhitungan sebagaimana wilayah kewenangan MK. Peraturan KPU tidak bisa diuji ke MK, sebaliknya juga sengketa perhitungan suara juga tidak bisa diuji ke MA. Jadi, putusan MA dan putusan MK adalah dua hal yang terpisah, sehingga tidak bisa disandingkan.

Ketiga, ada banyak tuduhan bahwa MA tidak memahami sistem pemilu atau putusan MA menimbulkan konsekuensi politik yang luar biasa. Tuduhan itu salah alamat, karena MA bukanlah pihak yang berhak menentukan sistem pemilu. MA adalah dewi keadilan yang ditutup matanya dan hanya memeriksa apa yang diajukan kepadanya, bukan memikirkan banyak hal diluar apa yang dimintakan. Kalaupun Putusan MA menyebabkan sistem pemilu berubah, yakni ketika semakin kuat unsur distrik dalam penentuan kursi parlemen, sehingga melemahkan unsur proporsionalitasnya, sebetulnya masih bisa diperdebatkan. Yang dipersoalkan oleh pemohon antara lain soal derajat keterwakilan, bukan sistem pemilu. Apalagi, sistem pemilu hanya ada dalam perdebatan akademis ketika UU disusun, serta bukan UU itu sendiri.

Bahwa akan terjadi pergeseran kursi pasca Putusan MA tentulah itu menjadi konsekuensi logis dari sebuah pengajuan kasus hukum ke pengadilan. Hukuman bisa ditambah atau dikurangi, status kepemilikan bisa berubah atas sengketa kepemilikan, atau seseorang menjadi kehilangan haknya, adalah soal biasa pasca sebuah putusan lembaga peradilan dikeluarkan. Tidak ada yang luar biasa.

Yang luar biasa adalah apabila putusan MA tidak dijalankan. Juga yang luar biasa adalah beragam ancaman bahwa akan terjadi pergerakan massa atas masalah pergeseran kursi. Kenapa luar biasa? Karena apabila putusan MA tidak dijalankan, berarti ada kekosongan hukum. Kursi parlemen bisa jadi tidak akan terisi, kecuali yang lolos dalam perhitungan tahap pertama, yakni yang mendapatkan bilangan pembagi pemilih. Sementara ancaman pergerakan massa adalah kosong, mengingat para anggota parlemen yang terpilih pasca Putusan MA juga memiliki massa, bahkan lebih besar dari yang sebelumnya diatur oleh KPU.

Kini, bangsa ini harus bersikap. Apakah hukum yang kita jadikan sebagai panglima atau politik? Kalau politik menjadi panglima, kita tahu akan menimbulkan kegoncangan yang luar biasa bagi pilar-pilar kehidupan bernegara. Sementara kalau hukum yang dijadikan panglima, maka negara ini semakin kokoh sebagai negara demokrasi yang memiliki rule of law. Kita tinggal memilihnya.

Indra J. Piliang, Dewan Penasehat The Indonesian Institute

Heboh Dugaan TPPO, Begini Pengakuan Mahasiswa Unnes saat Ikuti Ferienjob di Jerman
Pemain Chelsea rayakan gol Raheem Sterling

Chelsea Proteksi Raheem Sterling dari Hinaan Fans

Pelatih Chelsea, Mauricio Pochettino coba memproteksi Raheem Sterling. Pemain asal Inggris itu menjadi sasaran ejekan suporter saat tampil di Piala FA lawan Leicester.

img_title
VIVA.co.id
29 Maret 2024