Dirjen Migas Bumi, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja

Bangun Swasembada Migas untuk Ketahanan Energi

Kepala Dirjen Migas Prof. Dr. Ir. I Gusti Nyoman Wiratmadja Puja
Sumber :
  • VIVA.co.id/M. Ali. Wafa

VIVA.co.id –  Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah mengubah sistem penetapan harga bahan bakar minyak (BBM) menjadi tiga bulan sekali. Pemerintah menyatakan, kebijakan ini dilakukan demi menjaga kestabilan sosial ekonomi, pengelolaan harga dan logistik, serta menjamin penyediaan BBM nasional.

Dukung Peningkatan Kapasitas Nasional Lewat Industri Hulu Migas, IDSurvey Siap Beri Dampak Positif

Sejak Oktober 2015, pemerintah telah dua kali menurunkan harga BBM Premium dan Solar, yakni pada Januari dan April 2016. Untuk periode Juli 2016, harga BBM dipertahankan tetap, dan Kementerian ESDM menyatakan, harga BBM tidak akan berubah sampai September nanti. 
Sementara itu, impor minyak dan BBM yang tinggi mencapai 300 juta barel per tahun menyebabkan harga BBM dalam negeri berfluktuatif bergantung pada harga minyak mentah dunia. Apalagi, beban subsidi solar yang sangat tinggi, sehingga membebani anggaran pemerintah. 

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja kepada VIVA.co.id, belum lama ini membeberkan alasan pemerintah menetapkan sistem penyesuaian harga BBM setiap tiga bulan, peta jalan penghapusan subsidi BBM, serta peta jalan kebijakan migas di hulu dan hilir untuk mewujudkan ketahanan energi nasional.

Sri Mulyani Targetkan Investasi Hulu Migas Rp 223,3 Triliun

Berikut, petikan wawancaranya:

Mengapa penetapan harga BBM dilakukan setiap tiga bulan?

Reaktivasi Pabrik PIM-1 Bakal Tingkatkan Produksi Pupuk Indonesia

Karena, kita punya kebijakan tidak harga harian atau mingguan, tetapi per tiga bulan. Jadi, kita buat rata-rata selama tiga bulan, harga ini bisa naik dan turun.

Kalau kita menggunakan hitungan mingguan seperti Malaysia, bisa saja kalau harganya per hari, atau minggu berada di bawah. Sedangkan harga rata-rata per tiga bulan lebih tinggi, atau sebaliknya harga rata-rata per tiga bulan lebih rendah saat harga minyak harian naik.

Perbedaannya kita ambil per tiga bulan, bukan tiap harinya. Setelah kami sudah melakukan studi pada 2015, ketika setiap bulan harga minyak naik atau turun, secara politik timbul banyak komentar. Karena, saat harga BBM turun, harga barang tidak ikut turun. 

Ada yang menilai harga Premium Indonesia lebih mahal dari harga BBM Malaysia, apakah benar demikian?

Jadi, perhitungan harga BBM berdasarkan referensi dari Mean of Platts Singapore/MOPS (harga rata-rata BBM di Singapura), biaya distribusi, biaya pajak-pajak, dan lain sebagainya. Inilah harga yang kami tetapkan berdasarkan rata-rata tiga bulan sebelumnya. 

Jadi, kita tidak bisa dibandingkan per harga hari ini, harusnya rata-rata per tiga bulan sebelumnya. Kalau dilihat per hari, kadang-kadang harga Malaysia lebih tinggi, kadang-kadang lebih rendah, karena mengikuti fluktuasi harga minyak dunia. 

Kalau penghitungan secara rata-rata per tiga bulan, sebenarnya harga BBM Indonesia kita lebih murah dari pada Malaysia, yang mengikuti perubahan harga minyak dunia tiap minggu.

Rezim kita average (rata-rata), karenanya kita jauh lebih murah dari Malaysia. Harga BBM kita lebih murah dari mereka, kecuali Brunai Darussalam. Vietnam, Laos, Malaysia, harga mereka lebih tinggi dari kita per tiga bulan.

Sekarang, harga minyak mengalami tren kenaikan dan sudah menyentuh US$50 per barel. Apakah ada kemungkinan tiga bulan ke depan harga BBM akan naik? 

Periodenya harga BBM saat ini sampai akhir Juni. April, Mei, Juni. Periode berikutnya Juli, Agustus, September. Kami sudah melakukan kalkulasi karena ada Lebaran, Insya Allah untuk enam bulan ke depan tidak ada kenaikan. 

Rata-rata harga kemarin, agak ada kenaikan sedikit. Jadi, bulan Juli nanti ada keputusan baru. Insya Allah tidak ada kenaikan sampai September, tiga bulan berikutnya.

Berdasarkan proyeksi pemerintah berapa harga minyak mentah dunia ke depannya, apakah akan terus naik atau kembali turun? 

Kalau kami lihat, proyeksi dari lembaga-lembaga kredibel di dunia. Memang, saat ini harga minyak dunia akan naik turun terus, akan stabil di angka US$50 sampai US$60 per barel. Itu tren globalnya sampai akhir 2017. 

Kalau asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harga minyak mentah ditetapkan di harga berapa?

Kalau berdasarkan APBN, saat ini kita proyeksi US$35-US$40 per barel. Harga ICP (minyak mentah Indonesia) di bawah minyak mentah Eropa, Brent, yang sekarang US$50 per barel.

Insya Allah, proyeksinya hingga September, fluktuasi harganya masih sesuai dengan perhitungan.

Premium dengan harga sekarang Rp6.450 per liter sudah tidak disubsidi pemerintah. Bahkan, harga Premium masih dijual lebih tinggi dari harga keekonomiannya, berapa keuntungan yang diperoleh pemerintah? Dana keuntungannya akan dimanfaatkan untuk apa? 

Premium sudah tidak disubsidi, hanya distabilkan harganya. Pemerintah menetapkan. Kita enggak bilang keuntungan ya, ini selisih positif. 

Selisih positifnya terhitung dari April, Mei, Juni. Harga minyak kan fluktuatif. Selisihnya sekitar Rp500 sampai Rp1.000 per liter. Selisih positif ini, kita harapkan bisa menutupi kalau ada selisih negatif ke depan. 

Kita melakukan perhitungan hingga September. Di akhir tahun nanti, kita secara transparan minta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk melakukan audit kelebihan dan kekurangan. 

Misalkan harga Premium sekarang harga Rp6.450, harga referensi (keekonomian) Rp6.000. Ada beda Rp400 itu adalah positif. Keuntungan ini, nanti semua terakumulasi di Pertamina (PT Pertamina persero). 

Bila harga riilnya di atas dari harga yang kita jual, berarti ada selisih negatif. Seperti tahun lalu, negatifnya banyak mendekati sekitar Rp13 triliun. Nah, keuntungan dari harga jual itu kita gunakan untuk stabilisasi harga per tahun. 

Kementerian ESDM mengusulkan penghapusan subsidi Solar, tetapi hingga kini belum ada persetujuan dari Presiden dan DPR. Apakah usulan ini akan terus digulirkan?

Kami memang memiliki roadmap (peta jalan) besar. Inginnya rezim subsidi tidak ada lagi, seiring dengan penguatan perekonomian. Kami mengusulkan, bagaimana kalau subsidi ini secara bertahap dikurangi. 

Kami melakukan berbagai kajian. Misalnya bila subsidi solar Rp1.000 dihapuskan, dampaknya seperti apa sampai setahun, dua tahun, hingga tiga tahun. Kalau subsidinya masih Rp600, Rp500, seperti apa? Kalau subsidi Rp350, kayak apa?

Kami melaporkan ke komisi VII DPR kajian-kajian kami, dan pak menteri (menteri ESDM) akan melaporkan ke Presiden. Kajian itu kami lakukan secara detail sekali. Nanti, mana yang diambil, tentunya pimpinan punya wawasan yang lebih luas.

Selanjutnya>>>

Roadmap subsidi BBM ini sampai kapan? 

Roadmap ini target untuk tahun 2020, sudah tidak ada subsidi BBM, hanya ada elpiji. Elpiji pun bertahan menyesuaikan kekuatan perekonomian kita. 

Kalau masyarakatnya sudah makmur sejahtera, subsidi kan sudah tidak diperlukan lagi. Dengan pertumbuhan perekonomian, pemerataan kesejahteraan, tentu subsidi menurun. Begitu roadmap-nya ke depan.

Tahun lalu, Pertamina telah meluncurkan Pertalite dengan kualitas yang lebih baik dari Premium. Apakah ini salah satu cara pemerintah untuk menghapus Premium dengan meluncurkan BBM lebih ramah lingkungan? 

Memang, roadmap ke depan kita menggunakan BBM yang ramah lingkungan. Perlahan-lahan, kita menggunakan BBM kualitas Euro 4. Tetapi, kita tidak bisa serta merta menghilangkan Premium.

Pertama, Premium masih dibutuhkan oleh masyarakat karena harganya murah. Kedua, keberlanjutan kilang-kilang kita yang penting. Misalnya, tiba-tiba besok harus Euro 4, masak kilang-kilang kita seperti di Cilacap harus ditutup tahun depan. 

Roadmap penghapusan Premium disesuaikan dengan kemampuan kilang kita. Saat ini, kilang-kilang kita perbaruhi. Kilang-kilang baru yang akan dibangun standarnya sudah Euro 4.  

Kita revitalisasi kilang-kilang di Cilacap, Balongan, Balikpapan. Semua kita revitalisasi. Sesuai dengan roadmap kita pada 2022-2025, kilang-kilang kita sudah bisa mencapai Euro 4. 

Dengan pembangunan kilang-kilang ini, targetnya Pertamina tidak akan impor BBM lagi?

Iya, ditargetkan 2025, sudah tidak impor BBM lagi. Kalau bisa kita ekspor BBM.

Kalau sekarang, impor kita masih cukup besar. Sekitar 800 ribuan barel per hari, kita impor baik dalam bentuk BBM atau minyak mentah.

Berapa banyak BBM yang dibutuhkan Indonesia untuk bisa memenuhi kebutuhan konsumsi dalam negeri, agar tercapai swasembada BBM? 

Pada 2025, kita perlu tambahan kapasitas kilang baru 1,2 juta barel per harinya. Karena pada 2025, konsumsi BBM kita sudah 2,2 juta sampai 2,5 juta, tergantung bagaimana pertumbuhan ekonomi. 

Kalau pertumbuhan ekonomi seperti sekarang lima persen, atau 4,9 persen, maka kira-kira konsumsi BBM sekitar 2,2 juta barel per hari.

Dengan skema demikian, 2025 kita akan swasembada migas?

Swasembada BBM 2025 ini lebih kepada pengolahan. Kita tidak mengimpor lagi BBM jadi. Kita mengimpornya minyak mentah saja. Jadi, ada nilai tambah di dalam negeri. 

Kilangnya di sini, kita olah di sini, orang bekerja di sini, pertumbuhan ekonominya di sini. Produksi turunannya akan terus jalan.

Terkait BUMN holding energy, yaitu mensinergikan Pertamina dengan Perusahaan Gas Negara (PGN), sudah sejauh mana pembentukan BUMN holding energy?

Itu domainnya Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kami sih senang saja, kalau semua BUMN bersinergi, membangun infrastruktur akan lebih cepat. Sisi positifnya, sisi kompetitifnya harus dijaga, bareng-bareng membangun infrastruktur kan keren.

Terkait keanggotaan Indonesia di OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi), apakah Indonesia diuntungkan dengan bergabungnya kembali di OPEC?

Pertama, Indonesia negara produsen, dan juga pendiri OPEC, kita sangat dihormati. 

Kedua, Indonesia sangat netral dan kita di sana sebagai pengikat (penengah). Di dalam OPEC, ada sejumlah pihak yang  berseberangan pendapat, kita bisa sebagai pengikat. Walaupun kita impor, kita juga ekspor. 

Ketiga, keanggotaan OPEC memberi keuntungan dari sisi leadership international. Indonesia menjadi ikut berperan dalam organisasi dunia, seperti di OPEC. 

Selain itu, dengan berada di OPEC bersama 13 negara lain, kita bisa melakukan kesepakatan pembelian minyak secara langsung, tanpa perantara, government to government. Sehingga, harganya lebih murah, secara jangka panjang lebih lebih aman. 

Kita bisa langsung beli minyak ke Iran, Kuwait, tidak perlu perantara, baik kita mengimpor, dan Pertamina juga bisa dapatkan ladang-ladang baru dengan berada di sana. 
 

Kita ekspor minyak juga ya?

Kita ekspor minyak juga, yaitu minyak bagian Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) Migas. Itu kan haknya KKS, kita kan menggunakan rezim PSC (production sharing contract, atau kontrak bagi hasil). Minyak bagian KKS dijual ke luar, sah saja. Sebagai negara kita mengekspor.

Kenapa tidak untuk pemenuhan kebutuhan BBM dalam negeri terlebih dulu? 
 
Terkait rezim yang kita anut PSC, atau rezim bagi hasil, jadi KKS Migas mendapatkan bagian dengan cost recovery. Misalnya, produksi minyak 1.000 barel, mereka dapat 300 barel. 

Itu hak mereka mau jual ke mana. Bagian kita 700 barel. Itu kita olah dalam negeri. 

Kami di pemerintah, sekarang sedang mendorong bagian mereka (KKS) untuk dijual di dalam negeri. Karenanya banyak kondensat-kondensat yang tidak diekspor, tetapi diolah di dalam negeri. Akan kita bujuk dan diskusikan, agar bagian mereka dijual di dalam negeri. 

Bagaimana dengan keberpihakan pemerintah terhadap perusahaan nasional untuk mengelola sumber daya alam dalam negeri, atau nasionalisasi industri migas, apakah pemerintah aktif mendorong agar perusahaan nasional aktif mengelola sumber daya nasional?

Betul, pemerintah sekarang sedang aktif mendorong BUMN kita ini bangkit, atau berkembang lebih cepat lagi. Kita dorong, kita berikan kesempatan, agar mengambil blok-blok besar yang sudah mulai habis masa berlakunya, dan menjadi operator. 

Pertamina sudah diserahkan tanggung jawab sebagai operator di ladang-ladang minyak besar, seperti di Blok Mahakam. Pertamina juga didorong mengambil blok migas di East Ambalan. 

Dari pemerintahan sendiri, keberpihakan kepada perusahaan nasional, selain ke Pertamina, seperti Medco. Kita ingin perusahaan nasional ini tumbuh, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga internasional. Kita dorong Pertamina, selain beli minyak di Iran, juga harus masuk ke industri hulu di sana. 

Saat ini, berapa persentase blok migas yang dikelola oleh perusahaan nasional dan internasional? 

Kalau dipersentase, saya tidak hafal angkanya. Yang jelas, produksi minyak Pertamina sekitar 200 ribu barel dari produksi nasional 800 ribu.  

Bagaimana perkembangan proyek Blok Mahakam saat ini?

Sudah kami putuskan diberikan ke Pertamina, dengan pembagian ke daerah 10 persen. Pertamina boleh share down (menawarkan) 30 persen  kepada kontraktor yang ada. 

Ini sedang diskusi, semoga segera ada kesepakatan antara Total, Inpex dengan Pertamina. Yang 30 persen ini, mereka mau joint berapa. Kita berikan kesempatan business to business untuk pembagian saham.

Kemungkinan beroperasinya? 

Januari 2018. Mahakam merupakan blok migas terbesar di Indonesia.

Selanjutnya >>>

Bagaimana perkembangan blok Masela sekarang, setelah pemerintah memutuskan membangun kilang gas alam cair (LNG) di darat?

Masela sudah diputuskan oleh Presiden, tentu di level teknis kami jalankan. Kita sudah diskusi dengan KKS-nya, yakni Inpex dan Shell, sebagai kontraktor. 

Secara formal, kami telah meminta mereka untuk mengusulkan plan of development (rencana pengembangan) yang baru, dan apa saja yang mereka butuhkan. Kita intensif berdiskusi terus dengan mereka. Kementerian ESDM di sini diwakili Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). 

Kita menunggu hasil diskusi ini, karena ada penyesuaian-penyesuaian yang diperlukan. Masih dalam diskusi.

Lifting minyak saat ini, hanya 800 ribu barel per hari, apa upaya pemerintah untuk meningkatkan lifting minyak?

Untuk meningkatkan kapasitas lifting ini, memang diperlukan dua hal yang harus diperhatikan, jangka pendek dan jangka panjang. Jangka panjang, pasti kita harus melakukan eksplorasi lebih banyak. 

Dengan harga minyak seperti sekarang, eksplorasi menjadi hal yang tidak menarik secara keekonomian. Makanya, kita perlu memberikan insensif khusus untuk bisa bergerak, untuk menjaga penurunan lifting tidak terlalu tajam. 

Produksi minyak di Indonesia ini turunnya cukup drastis. Rata-rata 18 persen per tahun turun secara alami. Untuk menjaga tetap stabil saja ini berat, apalagi menambahkan karena itu harus terus melakukan eksplorasi. 

Untuk jangka pendek, tentunya kita lakukan enhanced oil recovery (EOR). Program ini juga butuh intensif khusus, agar kita bisa mempertahankan produksi sekarang.

Berapa cadangan migas kita sekarang?

Cadangan minyak kita sekarang, untuk cadangan terbukti yang bisa langsung diambil itu 3,7 miliar barel. Kalau dilihat total cadangan, minyak kita 21 miliar barel, tetapi tempatnya kecil, dan jauh-jauh. 

Kalau kita eksplorasi sekarang, dengan teknologi dan skema bisnis yang ada sekarang itu tidak ekonomis. Perlu diberikan semacam insentif agar ekonomis. Dari 21 miliar barel yang kita punya, yang ekonomis 3,7 miliar barel.

Kalau gas kita punya cadangan yang cukup besar, terdapat 153 triliun kaki kubik, namun Kembali lagi, tempatnya jauh-jauh.

Itu bisa memenuhi kebutuhan migas kita sampai kapan?

Dengan cadangan 3,7 miliar barel, bisa untuk memenuhi kebutuhan minyak sampai 12 tahun lagi. Kalau tidak ada eksplorasi, atau temuan baru, ya habis. Kalau kita dorong eksplorasi untuk menemukan temuan-temuan baru muncul, cadangan migas minyak bisa naik lagi. 

Kalau gasnya bisa lebih lama ya, tergantung teknologi juga, bisa untuk memenuhi kebutuhan gas 50-55 tahunan.

Jadi, pendapat masyarakat kalau kita kaya dengan sumber alam migas, masih relevan atau tidak?

Kalau lihat jumlah penduduk Indonesia 250 juta, kemudian pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen. Indonesia bila dibilang kaya sumber alam migas, tidak tepat. 

Kita miskin cadangan minyak dan gas, kebutuhan kita jauh lebih besar. Artinya, kita tidak bisa memenuhi kebutuhan migas sendiri, karena kita harus mengimpor. 

Karenanya, kita mendorong Pertamina untuk membuka ladang eksplorasi minyak di luar negeri. Sehingga, nanti hasil migasnya kita bawa ke Indonesia.

Sudah adakah kebijakan untuk menjaga ketahanan energi nasional ke depan?

Kalau ketahanan energi secara global, sumber energi tidak dari migas saja, ada energi terbarukan, batu bara, dan lain-lain. 

Kalau untuk minyak dan gas, pertama, eksplorasi harus kita dorong secara masif. Kita harus rela memberikan insensif kepada perusahaan-perusahaan yang mau investasi untuk eksplorasi migas, terutama di laut-laut dalam, karena potensi migasnya besar tapi biaya tinggi. 

Kedua, di sisi migas ini kita harus segera menciptakan lumbung-lumbung energi. Seperti nenek moyang kita dulu membuat lumbung. Saat panen, dia taruh di lumbung, pada saat paceklik bisa diambil. 

Sekarang, Indonesia harus membangun lumbung-lumbung energi di berbagai wilayah Indonesia. Tangki-tangki minyak, BBM, tangki LNG. Ini yang harus kita bangun, yang kita sebut cadangan strategis, sehingga pemenuhan kebutuhan energi stabil. 

Contoh yang baik Korea dan Jepang. Mereka mempunyai cadangan beberapa bulan ke depan.

Target Indonesia untuk lumbung energi berapa lama?

Lumbung energi migas Indonesia, kita usahakan untuk cadangan energi tambah 30 hari ke depan. Cadangan operasional saat ini 21 hari kita naikkan menjadi 30 hari, dan ada buffer (cadangan penyangga) yang sekarang nol kita tambahkan jadi 30 hari, kemudian satu lagi kita tambahkan cadangan strategis.

Apa kebijakan dan target pemerintah untuk industri migas ke depan?

Dari pemerintah, roadmap ke depan untuk hulu dan hilir. Untuk hulu, berharap dari industri migas ini eksplorasi masif, terutama di laut dalam. 

Kita harus memberikan berbagai kemudahan di industri migas. Kita mengharapkan juga teknologi EOR untuk maju, jadi penurunan produksi minyak tidak tajam. 

Untuk di hilir, tentu kita punya pekerjaan rumah besar di infrastruktur. Kita tahu infrastruktur ini hanya ada di Jawa, Sumatera, Kalimantan, belum di seluruh Indonesia. 

Infrastruktur migas harus segera kita bangun di seluruh Indonesia, dengan demikian ekonomi akan tumbuh. Ekonomi tinggi sekarang seperti di Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, itu karena infrastruktur migas di sana lengkap sekali. 

Jawa Tengah agak kurang, karena belum ada pipa gas di sana. Ini yang harus kita dorong di sisi hilir adalah pembangunan infrastruktur. 

Selanjutnya, pembangunan kilang. Agar, nilai tambahnya ada di Indonesia dan memberi pertumbuhan ekonomi. Lalu, untuk menjaga ketahanan energi jangka panjang, kita harus bangun lumbung-lumbung migas. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya