Country Manager Indonesia 17 Media, Andryan Gouw

Jalan Baru untuk Jadi Selebriti

Country Manager 17 Media Indonesia, Andryan Gouw
Sumber :
  • Viva.co.id/Amal Nur Ngazis

VIVA.co.id – Dalam beberapa tahun terakhir ini, tren digital baru muncul di Tanah Air. Tren yang dimaksud yaitu munculnya layanan live streaming dan broadcasting. Layanan ini pada intinya membawa komunikasi dua arah antara penonton dan pemilik atau pencipta konten.

Revisi UU Penyiaran Menyangkut Siaran Digital seperti Live Streming dan Podcast, Menurut DPR

Dalam layanan ini, penyiar, atau host sebagai pemilik konten akan berusaha menarik perhatian penonton dengan aksinya. Penonton akan memberi apresiasi atas konten yang menarik dengan memberikan gift. 

Layanan live streaming dan broadcasting menjadi ladang bisnis baru bagi pengguna internet. Cukup di depan laptop, siaran mendapatkan apresiasi dari penonton dalam berupa gift, maka sang host bisa mendapatkan uang.

Inspiratif, Kisah Ibu Rumah Tangga Ubah Waktu Luang jadi Uang

Namun, meski mudah dan fleksibel, nyatanya layanan ini belum begitu populer, dan terus bertumbuh di Indonesia. Awalnya, pemain pionir layanan ini yang masuk di Indonesia, yakni CliponYu, yang berasal dari Tiongkok pada 2014. Kemudian, disusul deretan pemain sejenis lainnya, yaitu Bigo Live, Nono Live, Siaranku, dan 17 Media. 

Sebagai pendatang baru, 17 Media sadar persaingan dalam bisnis live streaming dan broadcasting cukup ketat. Untuk itu, layanan asal Taiwan ini berupaya menghadirkan beberapa pembeda dengan pemain lama yang sudah hadir di Tanah Air.

Belanja Makin Untung dengan Diskon Murah S/D 80% Setiap Hari, Cuma di Shopee Live!

Country Manager Indonesia 17 Media, Andryan Gouw mengatakan, salah satu ambisi 17 Media yaitu menjadi alternatif TV bagi generasi digital di Tanah Air.

Andryan mengatakan, sejatinya industri live streaming dan broadcasting sudah berkembang, namun potensi dan peluang itu terganggu dengan munculnya salah satu platform yang kontennya menjurus ke pornografi dan dewasa. Hal ini, membuat perjuangan mengedukasi pengguna di Indonesia kian panjang dan berat. Berikut, petikan wawancara VIVA.co.id dengan Andryan di kantornya yang minimalis:

Sudah banyak pemain live streaming broadcasting di Indonesia. Apa yang ditawarkan platform Anda?

Diferensiasi utama itu adalah kualitas konten. Jadi, misalnya aplikasi-aplikasi lain kan cenderung user generated content, orang yang masuk ke sana organik untuk menemukan ketenangan dan menjadi hobi. Kemudian, ada yang cenderung merekrut (host) dan cemplungin ke sana untuk kemudian melihat mana yang beruntung.

Kalau kami ada semacam akademi, ada coach, talent manager yang memastikan si talent-tanlet ini, tak sekadar siaran sendiri secara bebas. Tetapi, ada aturan dan materi kepada mereka sebagai edukasi menjalankan live streaming, sehingga lebih berkualitas, tidak sembarangan. Misalnya, (siaran) sambil tiduran, sambil nyalon. Kan, jadi enggak menarik dari perspektif penonton, enggak ada interaksi.

Streaming ini kan bedanya dengan radio, kan menawarkan komunikasi dua arah ya. Radio enggak bisa tegur sapa dengan penyiarnya. Streaming ini tujuannya, agar saling berkomunikasi dan feed back langsung ke penyiarnya.

Penyiar interaktif, kooperatif dan kalau diberi gift, ya mereka akan membalasnya sebagai ucapan terima kasih. 

Kita enggak sembarangan jadikan talent-talent sebagai host. Terdapat prosesnya yaitu di-trainingdievaluasi secara rutin, bahkan antarcoach ada kompetisi, siapa timnya yang paling bagus. 

Peta industri live streaming broadcasting di Indonesia bagaimana?

Tiga tahun lalu awal mula lahirnya industri baru, live streaming dengan datangnya CliponYu, tetapi entah kenapa nge-hits cuma enam bulan pertama. Setelah itu, enggak seheboh pertama kali. Ini sudah jalan sampai jadi basi, tak berhasil jadi mainstream, kesempatan (industri untuk tumbuh) itu hilang lagi. Ketika versi mobile-nya (CliponYu versi mobile) muncul, kemudian Nono Live dan lain-lain dan menjadi lebih hidup, Tapi memang, belum arahnya yang menjadi mainstream kayak YouTube. 

Beruntungnya, kali ini momentumnya lumayan tepat, berbarengan yang baru-baru ini, muncul Instagram Live, Facebook Live, YouTube Connect. Mereka menawarkan live streaming. Bedanya, mereka utamanya bukan live streaming, kalau yang mau (fokus live streaming) yang baru-baru ini.

So far yang saya lihat, mereka kurangnya dari segi penyajian konten. Dunia live steraming kebanyakan wanita, sebagai host. Ada beberapa cowok yang sukses, tetapi jumlahnya sangat sedikit. Ceweknya 99 persen, cowoknya satu persen bisa dikatakan begitu. Makanya, ini yang menjadikan live streaming itu belum jadi mainstream. 

Kita harapkan, yang cewek terus berpartisipasi. Kalau industri akan sukses, harus melibatkan wanita, maksudnya sebagai penikmat atau penonton live streaming. Sampai sekarang, masih terbatas pada niche market. 

Munculnya Instagram Live, Facebook Live, apakah menjadi ancaman enggak?

Ancaman atau enggak, sulit dibilang sebagai ancaman ya. Sebab, kita tak pernah tahu rencana mereka akan seperti apa. Tetapi, kalau model bisnisnya akan sama dengan kita lakukan, maka itu ancaman sekali, mereka bisa lakukan dengan skill yang jauh lebih besar. 

Jadi kemarin, Instagram Live kerja sama Dian Sastro. Sementara, live streaming dan broadcasting dari awal berusaha mendapatkan artis kelas atas seperti Dian Sastro, tetapi itu susahnya setengah mati. Image-nya (citra live streaming dan broadcasting) kan negatif gara-gara aplikasi tetangga.

(Kementerian Komunikasi dan Informatika telah memblokir Domain Name System (DNS) aplikasi Bigo Live sejak Desember 2016. Sebelum diblokir, terungkap Kominfo telah mengincarnya sejak November 2016. Alasan pemblokiran dari Kominfo terhadap Bigo Live ini, yakni berdasarkan laporan dari masyarakat. Kemudian setelah itu, Kominfo terus mengamati adanya dugaan konten dewasa yang terdapat di Bigo Live tersebut. Setelah diblokir, Kominfo membuka blokir Bigo Live)

Tapi dengan adanya Instagram Live membantu sedikit, edukasi. Saya enggak tahu challenge-nya. Tapi di AS, Facebook itu bayar selebriti untuk Live ya. Enggak tahu apakah model bisnis ini bisa direplikasi di sini, tetapi saya rasa Indonesia bukan pasar utama Facebook. Facebook lebih fokus di AS, Kanada, Eropa. Setelah mereka habis di situ, baru ke Asia. Harusnya dalam waktu dekat mereka enggak akan langsung (bermain live streaming dan broadcasting) YouTube punya super chat di YouTube Connect, itu mirip bisnis model yang dijalankan oleh platform baru seperti ini. 

Tantangan pengembangan layanan live streaming broadcasting apa ya?

Mematikan image negatif. Karena, ketika Dian Sastro manajernya tahu live streaming dan broadcasting, langsung konotasinya ke negatif. Itu lumayan memengaruhi penilaian orang. Saat kita rekrut host pun, banyak orangtua mereka yang memandang negatif, karena terbawa kasus Bigo Live beberapa waktu lalu. 

(Rata-rata host pada layanan live streaming dan broadcasting adalah remaja. Untuk itu penyedia layanan ini menyaratkan yang ingin menjadi host, harus mendapatkan izin dari orang tua secara tertulis)

Mengubah image negatif itu bukan sebuah pekerjaan mudah bagi sebuah brand. Makanya ubah negatif sangat butuh effort dan waktu.

Bagaimana gambaran sistem 17 Media yang menjaga agar citranya enggak negatif?

Konten bervariatif. Kami punya ‘afternoon talk’, forum untuk talk show para host. Itu lumayan menghibur, antusiasme penonton lumayan. Maka, kami akan perbanyak, variatif. Kami mau punya lebih konten yang kayak TV, seperti program gadis cuaca (menyampaikan prediksi cuaca, namun dengan cara yang segar). Konten variatif yang mungkin selama orang ini nonton di TV, tetapi kita sajikan di live streaming. 

Apalagi, kami kan didukung dengan MNC TV, kami akan merelevansi dunia hiburan televisi ke dunia hiburan live streaming. 

Ibaratnya, digital entertainment yang baru mulai. Kita ingin mulai jalan dengan berpartner untuk cara baru orang untuk menjadi selebriti. Sebab, TV kan searah, jadi kami hadirkan TV yang dua arah. 

Variatifnya apa saja?

Misalnya nge-prank di mall, hal-hal lucu di mali. Talk show, turorial sulap masak atau yang lainnya.

Musik pernah kita coba, tetapi kasihan yang nyanyinya. Lama-lama, orang bosen juga. Host-nya resign, karena mereka tak dapatkan cukup penonton dan gift. 

Kalau dia main musik itu menarik, kalau cuma nyanyi enggak menarik. Justru, orang bisa cari orang yang talk show. 

Semua konten yang kami sajikan konten lokal, artinya yang buat orang Indonesia. Memang ada host yang dari Taiwan, cuma mayoritas yang tampil di kita adalah orang Indonesia. Cuma mau kita mau bikin acara Running Man, tetapi di mal, kejar-kejaran di mal, tetapi kita sajikan apakah menarik, lama kita coba. Keterbatasan live streaming itu live-nya ya. Kalau di TV kan, bisa diedit jadi bagus, jadi seru. Nah, kalau live steraming enggak bisa kebebasan editing, apa yang keluar yang tidak bisa ditarik kembali. Makanya, kami siasati dengan topik menarik di tonton. Salah satunya program masak bersama chef, prakiraan cuaca bersama siapa. 

Kita sudah kerja sama production yang ngerjain video klip juga. 

Soal monetisasi layanan dari mana?

Saat ini, kita dapatkan monetisasi selama ini dari gift dari yang di top up lewat Google Play, pulsa, atau kartu kredit, Kebanyakan sih transfer bank. 

Jadi, mayoritas mereka transfer dapat poin. Ada juga hal-hal misalnya mereka yang menjadi guardian knight, penonton yang demen sama host, maka dia kasih gift untuk menjadi pelindung host tersebut. VIP-Membership kalau orang dapat akses fitur eksklusif bayar Rp130 ribu untuk 30 hari. Ada beberapa mekanisme sih untuk monetisasi. 

Industri ini sedang tumbuh, dan regulasi belum ada untuk wilayah ini. Bagaimana sebaiknya?

Pelaku bisnis dan regulasi itu kan selalu kejar-kejaran. Regulator bikin rancangan yang lama, padahal industrinya sudah tumbuh. Bisa dilihat seperti taksi online ya, belum beres-beres. 

Tren ini (live streaming dan broadcasting) pasti akan di-regulated dalam satu atau dua tahun ini. Tinggal trigger-nya apa nih. Kami harap, bukan karena soal negatif ya, porno-porno lagi, atau bajakan ya, kasus yang dulu video bajak bioskop yang terjadi di aplikasi Bigo Live. 

Itu membuka mata pemerintah bahwa industri kreatif ini perlu di-support ya, bukan di-pagerin. Cuma, kita enggak tahu yang dilakukan kompetitor lakukan. Tetapi, yang pasti, karena kami didukung MNC, kami enggak mungkin yang aneh-aneh dan ilegal.

So far sih kita soft compliance, kita punya monitoring standar dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). KPI kan lumayan strict. Rokok, minuman bir, ciuman itu enggak boleh, dada sudah blur. Jadi, kami lakukan hal yang sama di live streaming kita, kalau ada (konten negatif) kami punya tim di sini dan Taiwan bekerja 24 jam pastikan semua konten yang ditayangkan layak standar KPI. Kalau pun ada aturannya, kami yakin tak melanggar sebab kami berkomitmen untuk patuhi pedoman dari KPI.

Perilaku pengguna live streaming di Indonesia dan Taiwan?

Host di sana sudah paham betul untungnya jadi live streamer. Kalau di sana orang cari live streaming gampang banget. 

Kalau di Indonesia, itu kecenderungannya ini, tanya apakah ini negatif enggak ya?. Jangan-jangan disuruh buka-bukaan, orang sudah pasang kuda-kuda. Kecenderungannya di bawah 21 tahun, kontrak harus atas persetujuan orang tua, mereka tak diperbolehkan. 

Cari talent di Indonesia itu lumayan ribet ya. Karena masyarakat kita lumayan tertutup kalau di Taiwan misalnya live streaming itu jalan menuju selebriti, enggak pusing. Mereka begitu ada kesempatan maka ambil. 

Dari segi penonton, di Taiwan mereka spend uang di live streaming seperti mereka spend di kasino, bisa ratusan juta hingga miliaran satu orang. Di sana satu orang siaran bisa di-support puluhan ya. Kalau di Indonesia satu talent yang support paling satu atau dua orang.  

Kalau live streamer talent memang mencari uang, spender-nya saat ini masih hitungannya baru di sini. Kebanyakan mereka pindah dari gamer, mereka umumnya sudah habis banyak di game online. Ada live streaming itu nyoba, ini kan mirip-mirip. Dulunya jual dengan mesin dan ini dengan orang. Lumayan mirip kebanyakan mereka munculnya dari gamer. 

Bagaimana siasat menghapus citra negatif selain sistem tadi?

Kami pastikan semua konten tak ada yang ke arah negatif, semuanya itu clear itu menjadi baseline. Kami punya ide buat acara positif di live streaming, enggak melulu coba cewek ngobrol enggak jelas, terus diulang selama 30 hari. Kalau gitu akan berikan kesannya live streaming itu cuma jualan cewek doang. Kami tak ingin itu nempel di live streaming, kita perbanyak hal konten positif. 

Cuma talent enggak semua bisa terlibat dalam penciptaan konten bagus ini. Acaranya yang membuat aura positif, membasmi citra negatif enggak perlu sesuatu dengan ekstra, cukup konsisten saja. Perusahaan lain tergoda sengaja hal negatif untuk mencari perhatian. Itu caranya mengedukasi pengguna. 

Profil pengguna 17 Media?

Host belum sampai ribuan baru 500-an ya. Berusaha menambahkan, tetapi kalau yang enggak cocok ya kita evaluasi, kita ganti. Kami pastikan yang jadi adalah yang punya potensi. Kalau sudah dievaluasi, di-training tapi enggak keluarkan potensi ya maaf saja. 

Dari 500 itu belum ada yang muncul ke artis, karena skala penontonnya masih sedikit. Total market size penontonnya (industri live streaming dan broadcasting) sekitar 5 juta, jauh lebih kecil dari penonton TV yang ratusan juta. 

Kerja sama partner yang selama ini dijalani?

Ada slot iklan di MNC TV, iklan di acara mereka, digital campaign kita jalan dan kerja sama lain lagi sedang on progress. Kami akan program pengembangan bakat bagi talent dan host akan mengarahkan mereka. masih on progress. 

Sesuatu yang tak bisa ditawarkan kompetitor, kita membuat jenjang karier bagi para host. 

Untuk di barat trennya live streaming dan broadcasting bagaimana. Apakah tren ini hanya terjadi di Asia saja?

Sebenarnya nge-tren tapi lebih pakai Periscope. Di barat, Periscope ini enggak sukses, atau gagal amat. Salah satu yang berharga di Twitter adalah Periscope yang merupakan pelopor video live streaming, cuma Twitter tak fokus ke situ belakangan malah stagnan, baru sekarang Periscope makin berkembang. 

Yang ada Iive.me, ini populer membawa bisnis model live streaming ke Eropa dan AS, informasinya sih sukses. Tetapi, saya enggak tahu sesukses apa, apakah benar menghasilkan.

Masyarakat Barat hampir semuanya terlatih untuk live streaming pinter-pinter ngomongnya ya, sudah natural untuk live streaming karena karakternya masyarakat lumayan terbuka, jadi tidak canggung. Kalau yang di sini kan masih malu ya. Jadi, memang dari modal awalnya sudah beda, antara masyarakat Barat dan kita ya.

Wajah industri live streaming dan broadcasting ke depan harapannya seperti apa?

Harapannya bisa men-distrup televisi karena kali ini orang orang jarang nonton TV. Jadi mudah-mudahan menggantikan posisi TV dan sebagai media yang dirindukan orang. 

Kita ingin hal-hal yang ada di televisi reinveting, kita sesuaikan ke live streaming. Karena, tanpa hari ini, akan sulit untuk mendatangkan penonton wanita, kalau sudah masuk itu bisa dipastikan industri akan makin berkembang. Kita ingin mencari format acara yang bagus bagi penonton. (asp)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya